Pengertian Mitos
suatu informasi yang sebenarnya salah tetapi dianggap benar karena telah
beredar dari generasi ke generasi. Begitu luasnya suatu mitos beredar di
masyarakat sehingga masyarat tidak menyadari bahwa informasi yang diterimanya
itu tidak benar. Karena begitu kuatnya keyakinan masyarakat terhadap suatu
mitos tentang sesuatu hal, sehingga mempengaruhi perilaku masyarakat.
Mereka kebanyakan mengabaikan logika dan lebih mempercayai hal-hal yang
sudah turun temurun dari nenek moyang. Pada dasarnya, mitos orang zaman dahulu
memiliki tujuan yang baik untuk kelangsungan hidup keturunannya Ada masyarakat
yang mempercayai mitos tersebut, ada juga masyarakat yang tidak mempercayainya.
Jika mitos tersebut terbukti kebenarannya, maka masyarakat yang mempercayainya
merasa untung. Tetapi jika mitos tersebut belum terbukti kebenarannya, maka
masyarakat bisa dirugikan. Mitos dipercaya sebagai ajaran nenek moyang tentang
apa yang tidak boleh dilakukan agar tidak tertimpa daerah.
Contoh mitos :
ü
Jangan bersiul pada malam hari karena mengundang setan. Maksudnya
adalah agar tidak mengganggu orang – orang yang sedang tidur.
ü
Foto bersama dalam jumlah ganjil. Janganlah
berfoto dalam jumlah ganjil karena salah satu dari yang difoto akan cepat
meninggal. Biasanya yang ditengah .
ü
Menyapu di malam hari. Janganlah anda menyapu
dimalam hari karena akan sulit untuk mencari rezeki.
ü
Menggunting kuku malam hari. Janganlah anda
menggunting kuku pada mari, karena akan membuat usia anda lebih singkat.
ü
Membuka payung didalam rumah. Anda dilarang
membuka payung di dalam rumah, karena akan terjadi sesuatu yang buruk
dikeluarga anda.
LEGENDA
Sebuah kisah sejarah tradisional
(atau kumpulan cerita terkait) populer dianggap benar tetapi biasanya berisi
campuran fakta dan fiksi. ebuah legenda adalah cerita yang diceritakan
seolah-olah itu adalah peristiwa sejarah, bukan sebagai penjelasan untuk
sesuatu atau narasi simbolik. Legenda mungkin atau mungkin tidak versi
dijabarkan dari peristiwa sejarah. Legenda yang dalam bahasa Latin disebut legere
adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh empunya cerita sebagai sesuatu
yang benar-benar terjadi.
Oleh karenanya, legenda sering kali dianggap sebagai sejarah kolektif (folk
history). Meski demikian, karena tidak tertulis, maka kisah-kisah tersebut telah
mengalami distorsi, sehingga sering kali jauh berbeda dengan aslinya. Oleh
sebab itu, jika legenda dipergunakan sebagai bahan untuk merekonstruksi suatu
sejarah, maka legenda harus dibersihkan terlebih dahulu.
Contoh legenda
BATU MENANGIS
|
Cerita Legenda Kalimantan
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan
hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia
mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu
ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap
hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala
permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya
harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari
harus membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa
untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus
berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan
memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya
nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil
membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat
terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu
adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa
memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu,
terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu.
Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras
keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda
mendekati dan bertanya kepada gadis itu, "Hai, gadis cantik. Apakah yang
berjalan dibelakang itu ibumu?"
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
"Bukan," katanya dengan angkuh. "Ia adalah
pembantuku !"
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak
seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis
itu.
"Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu
ibumu?"
"Bukan, bukan," jawab gadis itu dengan
mendongakkan kepalanya. " Ia adalah budakk!"
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang
disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya
diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika
ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali
didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu
yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
"Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak
kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya,
tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia...."
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh
gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika
perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon
ampun kepada ibunya.
" Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan
anakmu selama ini. Ibu...Ibu...ampunilah anakmu.." Anak gadis itu terus
meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat.
Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu,
namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata,
seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang
mendapat kutukan ibunya itu disebut " Batu Menangis ".
Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh
masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi.
Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan
membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan
Yang Maha Kuasa.
http://www.lokerseni.web.id/2011/12/cerita-legenda-batu-menangis.html
http://www.lokerseni.web.id/2011/12/cerita-legenda-batu-menangis.html
CERITA RAKYAT
Cerita Rakyat adalah sebagian kekayaan budaya dan sejarah yang
dimiliki Bangsa Indonesia. Pada umumnya, cerita rakyat mengisahkan tentang
suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Tokoh-tokoh yang
dimunculkan dalam cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam bentuk binatang,
manusia maupun dewa. Fungsi Cerita rakyat selain sebagai hiburan juga bisa
dijadikan suri tauladan terutama cerita rakyat yang mengandung pesan-pesan
pendidikan moral. Banyak yang tidak menyadari kalo negeri kita tercinta ini
mempunyai banyak Cerita Rakyat Indonesia yang belum kita dengar, bisa dimaklumi
karena cerita rakyat menyebar dari mulut – ke mulut yang diwariskan secara
turun – temurun.
Contoh
cerita rakyat
Cerita Asal Mula Danau Maninjau
Dari : Sumatra Barat
Danau Maninjau adalah sebuah
danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya,Kabupaten Agam, Provinsi
Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman
mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan
terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya
merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh
karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang
luas. Apa gerangan yang menyebabkan gunung berapi itu meletus dan berubah
menjadi danau? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Danau Maninjau
berikut ini!
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatra Barat ada
sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya
terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungan.
Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di
samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering
mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Di salah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau
itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan lelaki dan
seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa memanggil mereka Bujang Sembilan.
Kesepuluh orang bersaudara tersebut adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang,
Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara
adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani,
akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama meninggal, sehingga
Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada di
tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah
rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka
menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan kedua orangtua mereka. Mereka
sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan ibunya ketika
keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka
yang bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku.
Datuk Limbatang adalah seorang mamak di kampung
itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk
Limbatang memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memerhatikan
kehidupan warganya, termasuk kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu,
setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah Kukuban bersaudara untuk
mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu.
Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta
bersamanya.
Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama
istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan, secara tidak sengaja Sani
saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-sama
menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir
sungai. Dengan hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“Sudah lama merendam selasihBarulah kini mau mengembang
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“Rupa elok perangaipun cantik
Hidupnya suka berbuat baik
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik”
“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai
baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih Abang?” tanya Giran.
Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak
kencang. Dalam hatinya, ia juga suka kepada Giran. Maka ia pun membalasnya
dengan untaian pantun.
“Buah nangka dari seberangSedap sekali dibuat sayur
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“Jika roboh kota Melaka
Papan di Jawa saya tegakkan
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nyawa saya serahkan”
Alangkah senang hati Giran mendengar jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut.
Maka sejak itu, Giran dan Sani menjalin hubungan
kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka.
Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus
terang kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran
dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karenahal tersebut dapat mempererat
hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran
seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering membantu
Bujang Sembilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung
memperoleh hasil yang melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para
pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang
perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut
gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan
diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil
bagian dalam acara tersebut.
Pada hari yang telah ditentukan, seluruh peserta
berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung
jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong
pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil
bersama seorang lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling
berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang
menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya.
Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta
berikutnya satu per satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan
Kukuban, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu
peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan
yang seimbang.
“Hai, Giran! Majulah kalau berani!” tantang
Kukuban.
“Baiklah, Bang! Bersiap-siaplah menerima
seranganku!” jawab Giran dan langsung menyerang Kukuban.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran
dan Kukuban. Mulanya, Giran melakukan serangan secara bertubi-tubi ke arah
Kububan, namun semua serangannya mampu dielakkan oleh Kukubun. Beberapa saat
kemudian, keadaan jadi terbalik. Kukuban yang balik menyerang. Ia terus
menyerang Giran dengan jurus-jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun
terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Kukuban
melayangkan sebuah tendangan keras kaki kirinya ke arah Giran. Giran yang tidak
mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…! Kakiku patah!” pekik Kukuban dan
langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya
patah. Ia pun tidak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah
dalam gelanggang tersebut. Sejak itu, Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap
Giran karena merasa telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendam tersebut
dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Kukuban yang
dipendam dalam hati itu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu
malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung
Tinjau, Datuk Limbatang bersama istrinya berkunjung ke rumah Bujang Sembilan.
Kedatangan orangtua Giran tersebut bukan untuk mengajari mereka cara bercocok
tanam atau tata cara adat, melainkan ingin menyampaikan pinangan Giran kepada
Sani.
“Maaf, Bujang Sembilan! Maksud kedatangan kami
kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita,” ungkap Datuk
Limbatang.
“Apa maksud, Engku?” tanya si Kudun bingung.
“Iya, Engku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita
selama ini baik-baik saja?” sambung Kaciak.
“Memang benar yang kamu katakan itu, Anakku,”
jawab Datuk Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sembilan seperti anaknya
sendiri.
“Begini, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan
hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran dengan adik bungsu
kalian, Siti Rasani,” ungkap Datuk Limbatang.
“Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang
sama, Engku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran
adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si
Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras dari Kukuban.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan pernikahan
mereka! Aku tahu siapa Giran,” seru Kukuban dengan wajah memerah.
“Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan
kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah
perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” tanya Datuk
Limbatang dengan tenang.
“Ada, Engku! Masih ingatkah tindakan Giran
terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan
kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Kukuban sambil
menyingsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“Oooh, itu!” jawab Datuk Limbatang singkat
sambil tersenyum.
“Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah
ataupun menang dalam gelanggan itu hal biasa. Memang begitu kalau bertarung,”
ujar Datuk Limbatang.
“Tapi, Engku! Anak Engku telah mempermalukanku
di depan orang banyak,” sambut Kukuban.
“Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan
saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“Ah, itu kata Engku, karena ingin membela anak
sendiri! Di mana keadilan Engku sebagai pemimpin adat?” bantah Kukuban sambil
menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam.
Kedelapan saudaranya tak satu pun yang berani angkat bicara. Suasana pun
menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku
hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran,” ujar
Datuk Limbatang.
“Kebenaran apalagi yang Engku maksud. Bukankah
Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak
orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang
terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis oleh Giran. Tangkisan
itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu
perbuatan curang dan salah?” tanya Datuk Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu.
Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuk Limbatang adalah
benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak
mau menerimanya.
“Terserah Engku kalau tetap mau membela anak
sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan
anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.
“Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu.
Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kata
Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar
mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar putusan kakak
sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama
ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia
duduk termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya.
Begitupula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan
kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar. Akhirnya,
keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi
sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
“Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus
berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik ada di tangan Bang Kukuban.
Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani sambil menghela
nafas panjang.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai
itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani
beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut
pada sarungnya.
“Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“Wah, sepertinya pahamu tergores duri. Duduklah
Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di
sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari
paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang
keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang
Sembilan bersama beberapa warga lainnya.
“Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban.
Giran dan Sani pun tidak tahu harus berbuat apa.
Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai
gerak-gerik mereka.
“Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang
adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya
hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata Giran.
“Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu
mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan
terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk dihukum,” sambung seorang
warga.
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung
menuju ke ruang persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa
warga lainnya memberi kesaksian bahwa mereka melihat sendiri perbuatan
terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah
melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan
memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung
itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai
hukumannya, keduanya harus dibuang ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut
terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru
kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke
puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir
kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan,
mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak
melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,”
ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya
ke langit sambil berdoa.
“Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami.
Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air
kawah gunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah
gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan doa, Giran dan Sani segera
melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air kawah. Sebagian
orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika
Giran benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa.
Ternyata benar. Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat
berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras.
Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju ke
perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha
untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau
semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat.
Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikian cerita Asal Mula Danau Maninjau dari
Agam, Sumatra Barat, Indonesia. Konon, letusan Gunung Tinjau itu menyisakan
kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat
sekitar, nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau
Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu
diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani,
Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan
Sungai Batang.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang
mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat buruk yang
ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah
Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik
sebuah pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya
terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam kehidupan orang Melayu,
sifat dendam ini sangat dipantangkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
siapa tak tahu kesalahan sendiri,lambat laun hidupnya keji
kalau suka berdendam kesumat,
alamat hidup akan melarat
Perbedaan dan Persamaannya
sumber
:
ttps://anscerita.wordpress.com/category/sumatra-barat/
ohyatititi.blogspot.com/2013/03/definisi-perbedaan-persamaan-dan-contoh.htm
Pengertian filsafat
Filsafat adalah
studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis
dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Filsafat ilmu pengetahuan
yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan
sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi
tersebut.
Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah Informasi yang telah diproses
dan diorganisasikan untuk memperoleh pemahaman, pembelajaran dan pengalaman
yang terakumulasi sehingga bisa diaplikasikan ke dalam masalah/proses bisnis
tertentu .
Informasi yang diproses untuk mengekstrak implikasi kritis dan merefleksikan pengalaman masa lampau menyediakan penerima dengan pengetahuan yang terorganisasi dengan nilai yang tinggi.
Pengetahuan dapat juga diartikan sebagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pada saat seseorang memakai akal budinya untuk mengenali suatu kejadian tertentu yang belum pernah dirasakan sebelumnya itu dapat meunculkan sebuah Pengetahuan.
Informasi yang diproses untuk mengekstrak implikasi kritis dan merefleksikan pengalaman masa lampau menyediakan penerima dengan pengetahuan yang terorganisasi dengan nilai yang tinggi.
Pengetahuan dapat juga diartikan sebagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pada saat seseorang memakai akal budinya untuk mengenali suatu kejadian tertentu yang belum pernah dirasakan sebelumnya itu dapat meunculkan sebuah Pengetahuan.
Contoh Pengetahuan
Seseorang yang
mencicipi buah yang belum pernah dimakannya, maka orang tersebut akan
memperolah pengetahuan yaitu tentang rasa, bentuk, ukuran, nama buah.
Pada dasarnya pengetahuan mempunyai kemampuan prediktif/ perkiraan terhadap sesuatu sebagai hasil dari pengenalan suatu bentuk/ pola. Data dan Informasi terkadang dapat membingungkan seseorang, maka pengetahuanlah yang mengarahkan tindakan.
Pada dasarnya pengetahuan mempunyai kemampuan prediktif/ perkiraan terhadap sesuatu sebagai hasil dari pengenalan suatu bentuk/ pola. Data dan Informasi terkadang dapat membingungkan seseorang, maka pengetahuanlah yang mengarahkan tindakan.
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk
menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi
kenyataan dalam alam manusia . Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan
rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup
pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Pengertian ilmu pengetahuan adalah sebuah sarana atau definisi tentang alam
semesta yang diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia
sebagai usaha untuk mengetahui dan mengingat tentang sesuatu. dalam kata lain
dapat kita ketahui definisi arti ilmu yaitu sesuatu yang didapat dari kegiatan
membaca dan memahami benda-benda maupun peristiwa, diwaktu kecil kita belajar
membaca huruf abjad, lalu berlanjut menelaah kata-kata dan seiring
bertambahnya usia secara sadar atau tidak sadar sebenarnya kita terus belajar
membaca, hanya saja yang dibaca sudah berkembang bukan hanya dalam bentuk
bahasa tulis namun membaca alam semesta seisinya sebagai usaha dalam menemukan
kebenaran. Dengan ilmu maka hidup menjadi mudah, karena ilmu juga merupakan
alat untuk menjalani kehidupan
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN
PERBEDAAN KETIGANYA
Pengetahuan
|
Filsafat
|
Ilmu Pengetahuan
|
yang dipelajari terbatas,karena
hanya sekedar kemampuan yang ada dalam diri kita untuk m,engetahui sesuatu
hal
|
Mencoba merumuskan pertanyaan atas
jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya
bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan
|
cenderung kepada hal yang di
pelajari dari sebuah buku panduan
|
Obyek penelitian yang terbatas
|
Keseluruhan yang ada
|
Ilmu pengetahuan adalah kajian
tentang dunia material.
|
Tidak menilai obyek dari suatu
sistem nilai tertentu.
|
Menilai obyek renungan dengan
suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb.
|
Ilmu pengetahuan adalah definisi
eksperimental
|
Bertugas memberikan jawaban
|
Bertugas mengintegrasikan
ilmu-ilmu
|
Ilmu pengetahuan dapat sampai pada
kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris
|
PERSAMAAN KETIGANYA
Ketiganya mencari rumusan
yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap-lengkapnya sampai
keakar-akarnya.
|
Ketiganya memberikan
pengertian mengenai hubungan yang ada antara kejadian-kejadian yang
kita alami dan mencoba menunjukan sebab-sebabnya.
|
Ketiganya hendak memberikan
sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
|
Ketiganya mempunyai metode
dan sistem.
|
Ketiganya hendak memberikan
penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia
(objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar